Tak hanya Batik Megamendung, Cirebon juga menyimpan warisan leluhur lainnya yaitu Batik Ciwaringin
Cirebon dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batik. Tak hanya Batik Megamendung, Cirebon juga menyimpan warisan leluhur lainnya yaitu Batik Ciwaringin.
Menurut catatan sejarah, tradisi Batik Ciwaringin mulai berkembang sejak awal abad ke-20. Keahlian tersebut dibawa oleh para perajin batik dari Trusmi yang menetap di kawasan Desa Ciwaringin.
Seiring waktu, masyarakat setempat mengembangkan gaya batik yang berbeda dari Trusmi, terutama di sisi warna dan filosofi motif.
Jika batik Trusmi dikenal dengan warna-warna cerah dan motif megamendung yang kuat, maka Batik Ciwaringin tampil lebih lembut dan alami.
Perpaduan antara spiritualitas masyarakat Desa Ciwaringin yang lekat dengan pesantren dan kedekatan mereka dengan alam, membentuk karakter batik yang menenangkan serta penuh makna.
Dalam pembuatannya, warga menggunakan pewarna dari bahan-bahan alami. Bahan tersebut didapatkan dari lingkungan sekitar seperti daun jati, daun mangga, kulit manggis, kulit jengkol, kulit mahoni, dan kulit rambutan. Pewarnaan yang dipilih tidak hanya menjaga keaslian batik, tetapi juga memberikan sentuhan khas yang tidak bisa ditiru oleh pewarna kimia.
"Sebenarnya semua tanaman punya warna sendiri. Tapi warna yang kami pilih dari pohon mahoni, pohon mangga, kulit jengkol, dan kulit rambutan. Kami pikir pewarna yang didapatkan dari bahan alami akan lebih ramah lingkungan," kata Farhan Jazuli, seorang perajin Batik Ciwaringin yang dikutip dari Detikcom.
Batik Ciwaringin dibuat dengan teknik cap atau tulis. Setiap helai kain dikerjakan dengan ketelitian tinggi. Dimulai dari proses menggambar pola di atas kain mori menggunakan malam (lilin batik), dilanjutkan dengan pencelupan berulang kali ke dalam larutan pewarna alami.
Proses tersebut bisa memakan waktu dua hingga empat minggu, tergantung kompleksitas motif dan banyaknya lapisan warna yang diinginkan. Setelahnya kain dijemur di bawah sinar matahari, lalu direbus untuk menghilangkan malam.
Sayangnya, ide tersebut sempat membawa Batik Ciwaringin ke dalam masa-masa kegelapan. Seiring majunya teknologi, banyak jenis batik yang proses pembuatannya menggunakan teknik sablon atau printing. Akibat kalah saing, Batik Ciwaringin kabarnya nyaris punah pada tahun 1990-an.
Untungnya, industri Batik Ciwaringin kembali bangkit pada tahun 2010 melalui kolaborasi pemerintah dan swasta. Para perajin tetap konsisten menggunakan teknik pembuatan alami sehingga menjadi daya tarik tersendiri.
Saat ini Batik Ciwaringin sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Batik Ciwaringin menjadi contoh nyata bagaimana warisan budaya bisa tetap bertahan dan eksis dengan dukungan yang tepat serta ketekunan para perajinnya.